Membangun Budaya Literasi Awal Di Sekolah Dasar Kelas Rendah

By
Share this...

Bekasisociety.com – Pentingnya penerapan budaya literasi di era revolusi industri 4.0 seharusnya meningkat dikarenakan kemudahan akses informasi digital dengan akses tanpa batas tetapi pada kenyataannya budaya literasi malah menurun. Sebagai penggerak di bidang pendidikan seharusnya kita dapat melakukan berbagai upaya  untuk meningkatkan budaya literasi. Budaya literasi harus ditanamkan sejak dini terutama dalam usia sekolah dasar. Budaya literasi di sekolah dasar bukan hanya meliputi membaca, menulis dan berhitung tetapi berkembang menjadi berbagai jenis literasi seperti literasi komputer, literasi ekonomi, literasi informasi , literasi teknologi, literasi media bahkan literasi moral.

 Dengan kata lain literasi dapat diartikan melek teknologi, melek informasi, berpikir kritis dan kreatif serta peka terhadap kondisi lingkungan sekitar. Membangun budaya literasi pada sekolah dasar diawali dengan literasi lama yaitu membaca, menulis dan berhitung.  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai program unggulan bernama “Gerakan Literasi Bangsa (GLB)” yang bertujuan untuk menumbuhkan budi pekerti anak melalui budaya literasi (membaca dan menulis).

Usia sekolah dasar merupakan tahap terbaik perkembangan anak dalam mengembangkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Menurut Horton (2008) Literasi Dasar (Basic Literacy), kadang-kadang disebut Literasi Fungsional (FunctionalLiteracy), merupakan kemampuan dasar literasi atau sistem belajar konvensional seperti bagaimana membaca, menulis, dan melakukan perhitungan numerik.

 Oleh karena itu, budaya literasi di sekolah dasar akan menekankan pada literasi awal terlebih dahulu yaitu membaca, menulis dan berhitung.  Keberhasilan literasi awal akan membentuk keberhasilan literasi lainnya Budaya literasi di sekolah merupakan budaya kolaboratif  sehingga bukan hanya membutuhkan peran guru dan siswa, tetapi peran semua warga sekolah dan orang tua siswa.

 Walaupun peran guru sangat dominan dalam mengembangkan budaya literasi tetapi semua warga sekolah harus berupaya menciptakan suasana yang mendukung budaya literasi tersebut. Teori Zone of Proximal Development dari Vygotsky yang menyebutkan bahwa sebagai pendidik, guru memiliki peran yang sangat strategis untuk membantu perkembangan peserta didik secara maksimal. Bantuan yang diberikan guru akan sangat membantu perkembangan kognitif dan kemampuan peserta didik terutama dalam kemampuan  literasi siswa.

Peran guru  dalam budaya literasi dengan memasukkan pembiasaan literasi dalam pembelajaran. Upaya pertama  yang ditempuh dalam membiasakan budaya literasi dapat dilakukan dengan membuat media dan sumber literasi yang menarik, menyenangkan dan bermakna. Apabila media yang digunakan menarik, barulah kita bisa melanjutkan dengan metode pembiasaan literasi. Kegiatan ini bisa kita masukkan ke dalam proses pembelajaran dengan berbagai tahap pembiasaan. Dalam tahap awal, pembiasaan bisa dilakukan dengan cara membaca minimal 15 menit dalam sehari selama satu minggu sebelum pembelajaran dimulai.

Tahap kedua, pembiasaan membaca bisa dilakukan dengan cara membaca minimal 20 menit dalam sehari selama satu minggu. Pembiasaan membaca tersebut akan terus bertambah seiring waktu. Contoh lainnya ketika guru mengajarkan anak bercerita di depan kelas, guru sebelumnya merangsang siswa untuk memahami alur cerita dengan menempelkan gambar-gambar naratif sesuai dengan alur cerita. Gambar tersebut harus jelas dan berurutan agar siswa dapat memahami alur dan isi cerita. Guru juga bisa membantu kelancaran siswa bercerita dengan mengingat kata-kata atau ucapan anak yang terlupakan ketika anak tersebut bercerita.

Selain itu, guru juga menciptakan lingkungan kelas kaya teks. Guru bisa memperkaya ruang kelas dengan menempelkan hasil karya siswa, sehingga pembelajaran yang dilakukan harus menciptakan kreativitas siswa yang mengembangkan kemampuan literasi siswa. Peran guru sebagai motivator akan menjadi teladan bagi siswa. Oleh karena itu, sebelum mengembangkan budaya literasi di sekolah, guru juga mencontohkan budaya literasi.

Seperti sebuah pepatah yang menyebutkan bahwa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, secara sederhana dapat diartikan bahwa siswa akan mencontoh perilaku gurunya bahkan keterampilan dan kreatifitas dari siswa dapat melebihi apa yang diajarkan gurunya. Hal ini juga berlaku dalam kemampuan literasi siswa. Guru bisa memberikan contoh dengan membuat karya-karya literasi yang dapat dinikmati siswa. Karya tersebut bukan hanya tulisan ilmiah tetapi juga karya-karya sederhana seperti cerita pendek, pantun, puisi, cerita bersambung ataupun cerita bergambar.

 Karya yang guru buat dapat dikomunikasikan kepada siswa agar siswa mendapat inspirasi untuk mengembangkan budaya literasi. Sesuai dengan  penelitian Akbar (2017), strategi yang bisa dipakai dalam peningkatan literasi sekolah adalah 6M: mengamati (observe), mencipta (create), mengkomunikasikan (communicate), mengapresiasikan (appreciate), membukukan (post), memamerkan (demonstrate). Strategi ini bisa guru berikan kepada siswa sebagai upaya meningkatkan budaya literasi. Selain peran guru yang dominan, sekolah juga harus memberikan peran penting agar budaya literasi dapat berjalan secara optimal.

Sekolah memiliki peran yang penting dalam menanamkan budaya literasi pada siswa. Oleh karena itu sekolah harus memberikan dukungan penuh terhadap penumbuhkembangan budaya literasi. Dukungan sekolah dapat dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai. Upaya penyediaan sarana dan prasaran yang memadai akan membuat budaya literasi dapat berjalan secara optimal. Sarana literasi di sekolah meliputi perpustakaan sekolah dan perpustakaan kelas.

 Perpustakaan sekolah mencakup ruang perpustakaan, koleksi buku, administrasi perpustakaan, pengelolaan perpustakaan dan perlengkapan perpustakaan. Sedangkan perpustakaan kelas mencakup pojok baca yang nyaman di kelas, pembiasaan membaca di kelas setiap hari dan adanya koleksi buku yang di simpan dalam perpustakaan kelas.

Sekolah juga harus menjadwalkan jadwal kunjung wajib perpustakaan sekolah. Setiap kelas harus berkunjung ke perpustakaan sekolah setiap minggunya, penjadwalan tersebut dilakukan oleh sekolah agar semua siswa mempunyai kesempatan untuk berkunjung ke perpustakaan sekolah. Perpustakaan Sekolah dapat menjadi sarana pengembangan budaya literasi yang efektif karena di perpustakaan sekolah siswa dan guru mendapatkan informasi dan pengetahuan yang dapat merangsang siswa menciptakan karya-karya sederhana yang berkaitan dengan budaya literasi.

 Selain itu, sekolah dapat merangsang budaya literasi dengan mengadakan acara rutin seperti festival buku, lomba karya tulis fiksi dan nonfiksi, mendongeng (baik lomba dongeng atau mendatangkan pendongeng), karnaval tokoh cerita, dan poster. Dengan cara ini sekolah berupaya berkomunikasi dan berinteraksi yang literat dengan cara menciptakan budaya literasi dan memberikan penghargaan bagi siswa yang berpartisipasi aktif dalam budaya literasi.

Sebagai usaha kolaboratif dan partisipatif literasi sekolah di kelas rendah harus di kembangkan dan didukung oleh berbagai pihak. Budaya literasi akan berjalan optimal apabila ada usaha yang maksimal dari berbagai partisipan.

Sumber: Septian Mukhlis, S.Pd., M.Pd Dosen PGSD Universitas Pelita Bangsa

You may also like